Title:

mobicow

Bidayatul Hidayah : Bab Menasihati Diri

Berbicara tentang nasihat, aku melihat diriku tidak layak untuk memberikannya. Sebab, nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran un­tuk diri sendiri. Siapa yang tidak sampai pada nisab, bagaimana ia akan mengeluarkan zakat? Orang yang tidak memiliki cahaya tidak mungkin dijadikan alat penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok? Allah Swt. mewahyukan kepada Isa bin Maryam, “Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang lain. Jika tidak, malulah kepada-Ku.” Nabi kita saw bersabda, “Aku tinggal­kan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang berbicara dan yang diam.”
Pemberi nasihat yang berbicara adalah Al-quran, se­dangkan yang diam adalah kematian. Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mahu mengambil nasihat. Siapa yang tidak mahu mengambil nasihat dari keduanya, bagai­mana ia akan menasihati orang lain? Aku telah menasihati diriku dengan keduanya. Lalu aku pun membenar­kan dan menerimanya dengan ucapan dan akal, tetapi tidak dalam kenyataan dan perbuatan. Aku berkata pa­da diri ini, “Apakah engkau percaya bahawa Al-quran merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru na­sihat yang benar, serta merupakan kalam Allah yang di­turunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan mahupun dari belakangnya?” Ia menjawab, “Benar.” Allah Swt. berfirman, “Siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan amal perbuatan mereka di dunia dan mereka di dunia ini tidak akan dirugikan. Mereka itulah yang tidak akan memperoleh apa-­apa di akhirat kecuali neraka. Dan gugurlah semua amal per­buatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Hud: 15-16).
Allah Swt. menjanjikan neraka bagimu kerana eng­kau menginginkan dunia. Segala sesuatu yang tidak me­nyertaimu setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah engkau telah membersihkan diri dan keinginan dan cin­ta pada dunia? Seandainya ada seorang doktor Nasrani yang memastikan bahawa engkau akan mati atau sakit jika memenuhi nafsu syahwat yang paling menggiur­kan, niscaya engkau akan takut dan menghindarinya. Apakah engkau lebih percaya dengan doktor Nasrani itu lebih daripada engkau percaya akan Allah SWT? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah menurutmu penyakit itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya engkau ini! Engkau membenarkan tapi tidak mahu mengam­bil pelajaran. Bahkan engkau terus sahaja condong kepada dunia. Lalu aku datangi diriku dan kuberikan padanya juru nasihat yang diam (kematian). Kukatakan, “Pemberi nasihat yang berbicara (Al-quran) telah memberi­tahukan tentang pemberi nasihat yang diam (kematian), yakni ketika Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian hindari akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam ghaib. Lalu Dia akan memberi­tahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan’ (Q.S. al-Jumuah: 8).” Kukatakan padanya, “Engkau telah condong pada dunia. Tidakkah engkau percaya bahawa kematian pasti akan mendatangimu? Kematian tersebut akan memutuskan semua yang kau punyai dan akan merampas semua yang kau senangi. Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat dekat, sedangkan yang jauh adalah yang tidak pernah datang. Allah Swt. berfirman, ‘Bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun? Kemudian datang pada me­reka seksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak berguna bagi mereka apa yang telah mereka nikmati itu.’ (Q.S. asy­Syuara: 205-206).”
Jiwa yang merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan darinya. Sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus memegang dunia sampai ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia berkata, “Engkau benar.” Itu hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan. Kerana, ia tidak mahu berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana ia merancang dunianya. Ia juga tidak mahu berusaha mencari redha Allah SWT sebagai­mana ia mencari redha dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari redha manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada seorang manusia. Ia tidak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat se­bagaimana ia menyiapkan segala sesuatu untuk meng­hadapi musim kemarau. Ia begitu gelisah ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai mengum­pulkan kelengkapan yang ia perlukan, pa­dahal kematian barangkali akan menjemputnya sebelum musim dingin itu tiba. Kukatakan padanya, “Bukankah engkau bersiap-siap menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau membuat perleng­kapan musim kemarau sesuai dengan kadar ketahanan­mu menghadapi panas?” Ia menjawab: “Benar.” “Kalau begitu”, kataku, “Bermaksiatlah kepada Allah sesuai de­ngan kadar ketahananmu menghadapi neraka dan ber­siap-siaplah untuk akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana.” Ia menjawab, “Ini merupakan kewa­jiban yang tidak mungkin diabaikan kecuali oleh seorang yang dungu.” Ia terus dengan tabiatnya itu. Aku seperti yang disebutkan oleh para ahli hikmat, “Ada segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan separuhnya lagi tidak tercegah.”
Aku termasuk di antara mereka. Ketika aku melihat diriku keras kepala dengan perbuatan yang melampaui batas tanpa mahu mengambil manfaat dari nasihat ke­matian dan Al-quran, maka yang paling utama harus dilakukan adalah mencari sebabnya disertai pengakuan yang tulus. Hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan. Aku terus-menerus mencari hingga aku menemukan sebabnya. Ternyata aku terlalu tenang. Oleh ka­rena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit kronik dan sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa iaitu keyakinan bahawa maut masih lama. Sean­dainya ada orang jujur yang memberikan khabar pada seseorang di siang hari bahwa ia akan mati pada malam nanti atau ia akan mati seminggu atau sebulan lagi, niscaya ia akan istiqamah berada di jalan yang lurus dan pastilah ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan menipunya dan tidak mengarah kepada Allah SWT.
Jelaslah bahwa siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu petang, atau sebaliknya siapa yang berada di waktu petang lalu berharap bisa mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya. Ia hanya bisa berjalan dengan tidak berdaya. Kerana itu, aku nasihati orang itu dan diriku juga dengan nasihat yang diberikan Rasulullah saw ketika baginda bersabda,”Solatlah seperti solat­nya orang yang akan berpisah (dengan dunia).” Beliau telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat, padat, dan tegas. Itulah nasihat yang berguna.
Siapa yang menyedari dalam setiap solatnya bahawa solat yang ia kerjakan merupakan solat terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah ia bisa mem­persiapkan diri sesudahnya. Tapi, barang siapa yang tidak bisa melakukan hal itu, ia sentiasa akan lalai, tertipu, dan selalu menunda-nunda hingga kematian tiba. Hingga pada akhirnya ia menyesal kerana waktu telah tiada.
Aku harap ia memohonkan kepada Allah agar aku diberi kedudukan tersebut kerana aku ingin meraihnya tapi tidak mampu. Aku juga mewasiatkan padanya agar hanya redha dengannya dan berhati-hati terhadap pelbagai tipu daya yang ada. Penipuan jiwa hanya boleh diketahui oleh mereka yang pandai.

Sumber : Terjemahan Kitab Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali

No comments:

Post a Comment